Di Pedesaan Nganjuk,Wayang Timplong Masih Bernapas

MESKI sudah enam turunan (generasi) wayang timplong, keberadaannya tetap terjaga dengan baik, karena dari generasi tua-melalui garis keturunan-secara tidak langsung melimpahkan estafet untuk menguri-uri (menjaga-Red) kesenian tradisi itu kepada generasi berikutnya.

Realitas itu tercermin pada keluarga Ki Talam (64), salah seorang dalang wayang timplong asal Dukuh Bungkal, Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. "Sekarang ini di Nganjuk terdapat tidak kurang empat dalang wayang timplong, dan yang tertua, ya saya," kata Ki Talam, Selasa (16/4), di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), Surabaya.

Empat dalang wayang timplong itu adalah Ki Suwoto, Ki Djikan, Ki Maelan, dan Ki Talam sendiri. Ki Talam berulang kali berujar, agar wayang warisan leluhur itu jangan sampai punah.

Kesenian tradisi wayang ini yang hidup dan berkembang di tengah-tengah komunitas penduduk pedesaan di daerah Nganjuk itu, telah dihadirkan oleh lembaga seni budaya pemerintah, seperti TBJ, terkesan unik. Bentuk wayang terbuat dari bahan kayu waru, sementara tangannya terbuat dari kulit.

Jika selama ini sebagian besar warga masyarakat lebih mengenali kesenian wayang, tentu saja wayang kulit. Apalagi, era sekarang ini wayang kulit dengan kemasan baru terasa lebih segar, karena memasukkan unsur-unsur lawakan dan juga pesinden lagu-lagu campursari.

Justru sebaliknya, dengan wayang timplong tidak melibatkan pesinden (waranggana). Begitu pula halnya penabuh gamelannya tidak sebanyak dan selengkap yang dijumpai pada seni tradisi wayang kulit gaya Yogyakarta maupun Surakarta. "Dari dulu sampai sekarang ini, ya seperti itu, tidak ada sinden dan panjak-nya (penabuh gamelan-Red) pun cuma lima orang," tutur Ki Talam.

***

WAYANG Nganjuk yang masih diugemi (dilestarikan) oleh keluarga Ki Talam ini akan tetap berjalan pada koridor pakem wayang itu sendiri. Artinya, sebagai generasi pewaris, bapak lima orang anak itu tidak berniat mengubah eksistensi wayang timplong. "Ojo sampek ilang, wayang timplong itu ujudnya yang seperti itu," ujarnya.

Menurut kakek enam cucu itu, wayang anutannya yang berkembang dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat di daerahnya ini, semula dikembangkan oleh Mbah Karto Guno, asal Grobogan, Jawa Tengah. Lalu, turun-temurun dan diteruskan oleh Mbah Tawar, Mbah Juwul, dan Mbah Budho. "Generasi dalang wayang timplong yang termuda, ya Sujadi, anak saya sendiri," ujar dia.

Untuk memainkannya, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak yang mengiringi ilustrasi musik gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong, gambang, dan gong kecil. Gending-gending yang menyertai cerita lakon juga tidak terlampau njlimet, karena wayang ini hanya
mengenal gending
prahab (keluarnya wayang), grendel (jejeran), ngrangsang (peperangan), sendonan (sulukan), dan andek-andek (Onto Kencono).

Spesifikasi dari cerita berkisar pada cerita-cerita rakyat, teristimewa cerita Kediren atau asal usul daerah Kediri. "Cerita-cerita lakon Babat Kediri, Asmoro Bangun, dan Panji Laras Miring itu sudah pakem wayang timplong. Dan selama saya mendalang, cerita lakonnya, ya terserah dalang...," ujarnya.

Ki Dalang Talam ketika menggelar pertunjukan wayang timplong dalam sepekan wayang di Pendopo, TBJ mengusung cerita lakon Bedhahe Tanjunganom (Rabine Kundhowarso) yang mengisahkan tentang perkawinan antara sang putri Redi Warso asal Tanjunganom dengan seorang lelaki, Kudhowarso, asal Lamongan.

Wayang yang dipertontonkan di kota arek ini menjadi sebuah sajian pertunjukan yang amat langka. Tampilan wayang yang dimainkan oleh Ki Dalang Talam itu patut mendapat perhatian, terlebih kajian-kajian sosiologis-antropologis dari para pakar seni tradisi di daerah ini, karena karakter wayang itu sendiri mengenal tokoh jahat maupun tokoh baik. Prabu Djoko Klono Sewandoro adalah tokoh jahat, sementara Panji Asmoro adalah tokoh baik.

"Sejak awal saya mendalang, tahun 1957, sampai sekarang, wayang timplong tidak pernah terseret oleh kepentingan politik, dan memang tidak ikut politik," tegas Ki Talam.

Wayang ini masih sering ditanggap untuk ruwatan desa/bersih desa, untuk mengusir balak ataupun bencana. "Bulan Suroan biasanya banyak tanggapan, kadang tiga, empat, sampai enam kali," ujarnya. Lalu berapa tarifnya? "Berkisar Rp 750.000 hingga
Rp 1 juta," ujarnya.

***

KHAZANAH seni tradisi wayang timplong telah membuka apresiasi terhadap aneka ragam seni wayang itu sendiri. Ini berarti, bagaimanapun wayang asal Nganjuk yang dimainkan oleh Ki Dalang Talam yang kesehariannya sebagai buruh tani, sudah menyapa sebagian publik kesenian di kota berpenduduk 3,2 juta jiwa ini.

Malahan, menurut Suwoto, panjak yang juga dalang wayang timplong, pada tahun 1991 wayang pimpinan Mbah Tawar sempat tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. "Tahun 1999 lalu sebagai dalang wayang timplong saya pentas di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Surakarta," ujar Suwoto, anggota keluarga Ki dalang Talam.

Ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk itu bisa jadi sebuah kekuatan untuk pencerahan-pencerahan hidup. Jika selama ini cerita lakon berputar-putar dari cerita-cerita masa lampau, tidak tertutup kemungkinan akan lahir sosok dalang yang mengusung cerita-cerita lakon kekinian.

"Bakal jauh lebih menarik kalau mengangkat cerita si Tommy...," ujar salah seorang seniman.

Wayang timplong masih bernapas, walaupun eksistensinya terbatas pada komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas. Ruwatan dan bersih desa yang masih subur di tengah-tengah masyarakat itu menjadi ruang hidup seni wayang timplong. (ABDUL LATHIF)


Artikel Terkait

Previous
Next Post »