Jatuh Bangun Seni Tayub

SEBUAH pertanyaan, boleh jadi masih terus mengganjal dan menggema dalam pikiran Sugio Pranoto, sesepuh kesenian tradisional tayub di Kabupaten Nganjuk.

Sampai kapan produk kesenian tradisional, seperti tayub, akan selalu terpinggirkan. Minimnya minat generasi penerus ditambah menyusutnya tingkat apresiasi masyarakat, bahkan untuk sekadar menonton pertunjukan seni tradisional, menjadi semacam momok di kalangan penggiat kesenian tradisional di Tanah Air ini.

"Anak muda sekarang lebih senang bentuk kesenian yang praktis macam dangdut, karaoke, atau campursari. Belajar tari tayub tidak gampang, perlu proses serta waktu lama," keluhnya.

Padahal, di Nganjuk, seni tayub dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian khas. Kebanyakan masyarakat Jawa Timur mengenal Nganjuk sebagai gudang penari tayub (waranggana), tersebar di hampir 20 kecamatan.

Berbagai upaya penyelamatan sering kali dilakukan. Pada Desember tahun 1985, pemerintah kabupaten bersama penggiat kesenian mendirikan perkumpulan (himpunan pramugari, waranggana, dan pengrawit) Langen Bekso dengan tujuan lebih menertibkan organisasi serta koordinasi kegiatan seni itu.

Selain pembinaan teknis dan keorganisasian, para penggiat seni, terutama waranggana, juga diberi semacam piagam dan nomor induk sebelum dibolehkan pentas.

"Malah, setahun sekali Pemkab Nganjuk juga menggelar ritual wisuda waranggana (gembyangan waranggana), setiap Jumat Pahing bertepatan dengan bulan besar penanggalan Jawa," tambah Sugio.

Upaya-upaya itu menurutnya, selain untuk meningkatkan profesionalitas kesenian tayub, juga mengangkat martabat serta citra penari tayub. Selama ini diakuinya, waranggana sering diidentikkan sebagai wanita tidak bermoral.

Tidak hanya itu, menurut ketua kelompok waranggana, Musrini (35), di Padepokan Langen Tayub Anjuk Landang, 10 kilometer arah timur Kota Nganjuk, kelompok tayub sering mencari terobosan baru dalam berpentas.

"Selain alat musik gending, kami juga mencoba memasukkan unsur alat musik lain seperti organ saat berpentas. Malahan kami juga mencoba memenuhi permintaan penonton jika mereka minta dalam pementasan kami membawakan lagu-lagu yang sedang populer seperti campursari atau Asereje," ujar Musrini.

Akan tetapi, inovasi seperti itu tetap tidak berpengaruh banyak pada tingkat apresiasi dan minat masyarakat menikmati kesenian tayub. Bahkan, dari hari ke hari minat generasi muda mempelajari kesenian itu semakin punah.

Musrini menambahkan, saat ini dari sekitar 50 waranggana, hanya 18 orang yang aktif berpentas. Selain itu, kebanyakan tidak lagi bisa dibilang muda lantaran berusia 25-40 tahun dan kebanyakan sudah berkeluarga.

"Seringnya, kalau sudah berkeluarga mereka berhenti. Sementara mencari murid baru sulitnya bukan main. Pernah dinas pariwisata dan padepokan membuka pendaftaran gratis, tapi tidak ada yang mendaftar," ujar Musrini.

Bahkan lucunya, tambah Musrini, wisuda waranggana, yang digelar setiap tahun justru diikuti oleh waranggana senior, yang sebelumnya pernah diwisuda.

"Habis mau bagaimana lagi. Sekarang mencari murid susah. Tambah lagi tenaga pengajar tidak ada. Seharusnya waranggana tidak dibolehkan mengajar calon waranggana. Seperti sekarang, saya terpaksa mengajar mulai dari keterampilan menari sampai berhias sebelum pentas. Saya hanya mengajarkan apa yang dulu pernah saya terima," ujar Musrini.

Keadaan seperti itu berbeda 180 derajat dengan kondisi sekitar lima dasawarsa sebelumnya. Menurut Sugio, kesenian tayub mengalami masa jaya pada tahun 40-an hingga 60-an.

Saat itu waranggana di Kabupaten Nganjuk sekitar 400 orang, tersebar di hampir setiap kecamatan. Itu belum termasuk pengrawit atau pemain gamelan.

Pada sejarahnya, tambah Sugio, kesenian tayub mulai marak dan berkembang sekitar tahun 1948 dengan kehadiran dua orang kakak beradik, Sastrosandyo dan Sungkono, asal Desa Senjayan, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, sebagai pelatih andal tarian tayub.

"Keduanya lulusan sekolah tari di Solo, Jawa Tengah, kemudian mendirikan organisasi Budi Mulya, yang mengajarkan kesenian tayub di daerah ini. Saat itu, bisa dibilang setiap desa pasti punya kelompok tayub," papar Sugio.

Namun, berdasarkan cerita turun-temurun di kalangan masyarakat Nganjuk, seni tayub muncul pertama kali tahun 1934 di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom.

Menurut Sugio, waktu itu dua anak Mahkawit (11) dan Jaminem (10), warga dusun itu tiba-tiba sakit aneh. Dalam sakit keduanya minta orang tua mereka menggelar pertunjukan tayub karena ingin menari. Padahal, sebelumnya anak itu belum pernah belajar tarian tayub.
Setelah masyarakat desa sepakat menentukan tanggal dan bulan baik, pementasan digelar. Saat itu Jumat Pahing, acara digelar bertepatan dengan acara bersih desa. Anehnya kedua anak menari dengan fasih dan menyelesaikan 10 gending wajib, yang biasa dibawakan untuk mengiringi penari tayub.Setelah masyarakat desa sepakat menentukan tanggal dan bulan baik, pementasan digelar. Saat itu Jumat Pahing, acara digelar bertepatan dengan acara bersih desa. Anehnya kedua anak menari dengan fasih dan menyelesaikan 10 gending wajib, yang biasa dibawakan untuk mengiringi penari tayub."Sayangnya kesenian ini terhambat saat pemberontakan PKI meletus. Saat itu, banyak penari maupun pengrawit ketakutan dituduh terlibat partai terlarang itu. Banyak pula dari mereka ditangkap dan dikenai cap eks tahanan politik atau narapidana politik. Padahal, banyak dari mereka tidak tahu masalah politik," ujar Sugio.

Sejak itu popularitas tayub asal Nganjuk mulai pudar. Walau kemudian digiatkan pada era pemerintahan Orde Baru, tidak lagi mampu meraih kembali masa kejayaannya.

Jika dulu mereka berhadapan dengan persoalan politik, kini kesenian tayub harus bergulat dengan maraknya budaya populer, yang semakin diperkuat melalui televisi.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »