RIWAYAT MAKAM MBAH GEDHONG NGLUYU

A. Mataram dalam Pemerintahan Panembahan Senopati (1586 – 1601) dan Pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (1601 – 1613).
Setelah Pajang dan Demak dapat ditaklukkan, Panembahan Senopati berniat menjadi Raja Jawa. Sesudah mendapat persetujuan dari Sunan Giri, dikumpulkanlah semua Bupati yang telah takluk beserta bala tentaranya. Setelah mustaid segala-galanya, berangkatlah Baginda Panembahan Senopati akan menaklukkan Surabaya yang telah bersekutu dengan Panembahan Madiun dan Bupati Ponorogo. Laskar kedua belah pihak bertemu di Japan, tetapi untunglah pertempuran belum terjadi, karena datang dari pesuruh Sunan Giri untuk melerai kedua laskar itu. Masing-masing lalu pulang ke negerinya. Tetapi Surabaya bersikeras untuk melawan Mataram juga, karena mendapat bantuan dari Madiun dan Ponorogo. Ketika hal itu terdengar Panembahan Senopati, Madiun dan Ponorogo diserang sampai tunduk. Sesudah itu Pasuruan dan Kediri juga dapat dilumpuhkan.
Pada tahun 1587 Pajang dan Demak melawan, tetapi juga dapat ditundukkan lagi. Adipati Pajang lari ke Banten. Lain dari pada itu masih ada lagi negeri yang melawan antara lain Bupati Pati yang bernama Pragula. Panembahan Senopati menitahkan menaklukkan Bupati Pragula tersebut. Laskar Mataram dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna. Dalam sebuah pertempuran hebat Bupati Pragula gugur. Semua putri diboyong ke Mataram oleh Tumenggung Wiraguna
B. Riwayat Hidup, Perjalanan Pangeran Suromangundjoyo Selayang Pandang.
Ketika Pati ditundukkan, putra Adipati Pragula yang bernama Pangeran Suromangundjojo beserta istri, keponakan, dan pengikut setianya berhasil melarikan diri ke Giri Gresik. Oleh Sunan Giri diberi petuah-petuah berbagai ilmu dan ajaran agama, kemasyarakatan, pertanian dan sebagainya.
Pangeran Suromangundjojo di Giri membuat tempat pemandian yang sampai sekarang dikenal dengan nama Telaga Giri. Oleh Sunan Giri, Pangeran Suramangunjaya dianjurkan membuat dan mendirikan desa di hutan Ngluyu dan Cabe. Dalam perjalanan menuju ke hutan Ngluyu dan Cabe, keponakan Pangeran Suromangundjojo yang menyertai beliau, ada yang jatuh cinta dengan penari Jawa (tandak) di desa Tlebung, daerah Bojonegoro. Selanjutnya bertempat tinggal di desa tersebut.


Pangeran Suromangundjojo meneruskan perjalanan menuju ke hutan Ngluyu dan Cabe, kemudian langsung menuju (njujuk : jujugan : jawa) dekat Ngluyu. Kemudian di kenal dengan nama/sebutan Jonggan. Pada waktu itu keponakan Pangeran Suromangundjojo yang bernama Suramangunonengan merasa sangat haus. Lalu tongkat Suromangundjojo ditancapkan di tanah, maka keluarlah air, selanjutnya menjadi sumber air yang sekarang dikenal orang dengan nama Sendang Sumber Waras atau Sendang Anggara sampai sekarang.
Sementara keponakan Pangeran Suromangundjojo membabat hutan Cabe, didirikan Desa Cabean. Pangeran Suromangundjojo membabat hutan Ngluyu, didirikan Desa Ngluyu. Beliau menetap di desa Ngluyu sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di sebelah barat laut desa yang sampai sekarang kita kenal sebagai makam mBah Gedhong.
CERITA TENTANG KEJADIAN ANEH
Menurut cerita yang ditulis Supardi Samani ayah Bambang Sancoko yang juga turun kedelapan Eyang Suromangundjojo, bahwa jarit parang merupakan kesukaan atau klangenan Pangeran Suromangundjojo. Kecuali itu beliau juga mempunyai piaraan macan putih, dan tidak suka minum minuman keras. Dan beliau berpesan agar orang lain termasuk anak turunnya tidak memakai jarit parang dan tidak minum minuman keras. Hal ini persis dengan apa yang pernah diterima Drs. Harmadi melalui wisik. Ketika itu Harmadi baru saja memangku jabatannya sebagai Camat Ngluyu. Dalam mimpinya pernah didatangi oleh sosok-sosok leluhur sebagaimana yang banyak diceritakan banyak orang tersebut. Karenanya dia sendiri menyakini adanya misteri jarit parang tersebut.
Selain dilarang memakai jarit parang dan menyediakan minuman keras, kata Juru Kunci Djakiran, Eyang Suromangundjojo yang diyakini makamnya ada di makam Gedong itu juga memberikan pantangan bagi para peziarah. Para peziarah seperti dituturkan juru kunci, harus dalam keadaan suci lahir bathin. Peziarah diwajibkan memakai sarung dan tidak memakai celana dalam. Biasanya setiap malam Jum’at Pahing ada sekitar 100 hingga 200 peziarah, hingga oleh juru kunci dibuatkan tempat khusus untuk menampung peziarah. Sebab, kata Djakiran, para peziarah juga banyak dari luar jawa. Misalnya Kalimantan, Bali, Sumatera.
Bagi peziarah diwajibkan suci dari hadast besar maupun kecil layaknya hendak sembahyang, hal itu dibenarkan Camat Ngluyu Gunarto. Bahkan, dia sendiri mengakui, bahwa pihaknya bersama Muspika pada saat menjelang Pemilu Legislatif tahun 2004 sempat sowan, ziarah ke makam mBah Gedong. Tujuannya agar Ngluyu aman. Ketika itu Kapolsek lupa belum melepas celana dalamnya. Akibatnya Pak Kapolsek merasakan ada yang menghempaskan hingga terhengkang.
Cerita lainnya yang dialami masyarakat Ngluyu dan sekitarnya adalah sebagai berikut :
1. Masih segar dalam ingatan, kejadian aneh bulan April 2004 yang lalu, yaitu sebuah peristiwa yang sempat menggegerkan SLTP Negeri 1 Ngluyu. Pada saat sekolah sedang melakukan kegiatan perpisahan, tiba-tiba suasana dipecahkan oleh turunnya hujan dengan disertai sambaran petir. Karuan saja panitia dibuat kalang kabut. Sebab, tidak disangka kalau siang itu bakal turun hujan. Apalagi bukan musim penghujan. Sebagian kalangan terutama masyarakat desa setempat, meyakini ada sesuatu yang tidak beres, terkait dengan hal-hal di luar nalar, alias berbau mistik. Sebagian besar memperkirakan, di sekitar arena tersebut pasti ada seseorang yang mengenakan jarit parang. Panitia terpaksa melakukan operasi. Ternyata seluruh panitia hingga siswa tidak ada yang membawa atau mengenakan jarit parang. Pencarianpun terus dilakukan hingga di luar SLTP Negeri 1. Ternyata seorang warga mengetahui ada seorang pedagang kain keliling sedang menawarkan dagangannya pada warga sekitar. Setelah warga mengoperasi seluruh kain dagangannya, ternyata ada dagangan berupa jarit parang. Spontan, warga meminta untuk segera membuang, atau segera meninggalkan lokasi keluar dari wilayah Desa Ngluyu. Beruntung si pedagang memakluminya, dan segera bergegas meninggalkan desa itu. Hasilnya, hujan yang disertai petirpun reda.
2. Peristiwa aneh lainnya, seperti dituturkan Satimo Kades Ngluyu , yaitu ketika lima tahun lalu, di lapangan desanya, Ludruk Kopasgad menggelar pentas. Saat itu, panggung, pagar porak poranda diterjang badai. Hingga mengalami kerugian besar. Penyebabnya, diyakini salah seorang penarinya mengenakan jarit parang. Padahal pimpinan Ludruk sudah berpesan untuk tidak mengenakan jarit parang. Tetapi si penari asal Kediri itu tidak percaya. Dampaknya panggung beserta isinya diterjang badai, dan sambaran petir.
3. Waras Riyanto warga Desa Tempuran juga menceriterakan seputar misteri jarit parang di Desa Ngluyu. Bulan Agustus tahun 2002, Carik Desa Gampeng menggelar hajatan dengan suguhan hiburan wayang kulit. Kebetulan waranggono membawa jarit parang di dalam kopernya. Akibatnya dari pagi hingga siang turun hujan dan petir. Si waranggono tersebut tidak sadarkan diri, dan si dalang namanya Asli Budiman beserta rekan-rekannya terserang diare terus menerus. Melalui seorang penabuh gamelan diketahui bahwa di koper waranggono terdapat jarit parang . Karenanya, oleh salah seorang warga jarit tersebut dibawa keluar Desa Ngluyu dan dibuang di Kali Watu Gandul. Barulah suasana normal kembali.
4. Kejadian serupa juga dialami mBah Mukmin asal Desa Puncu saat menggelar pentas wayang kulit dengan ki dalang Djoko Widodo dari Ngawi.
5. Masih menurut Waras Riyanto, pada Bulan September tahun 2002 ada hiburan tayuban di rumah Lasidi. Ceriteranya ada seorang warga yang tidak mempercayai larangan membawa jarit parang. Seorang warga tersebut sengaja membawa dari rumah dibawa ke pentas yang kebetulan pentasnya digelar siang hari. Sekitar jam 14.00 tiba-tiba turun hujan disertai sambaran petir, hingga terop roboh. Warga yang membawa jarit tersebut kemudian mengantar waranggono ke Ngrajek. Sepulangnya sampai di depan rumah Pak Lasidi orang tersebut terkena musibah kecelakaan hingga tewas seketika.
6. Ada juga ceritera lain ketika dilaksanakan Bhakti Karya Pramuka sekitar tahun 1990. Ketika itu berlokasi di Desa Tempuran. Bambang Sancoko selaku panitia sempat dibuat panik. Pasalnya, ada empat anak buahnya yang tiba-tiba kesurupan. Ketika itu panitia bersama warga setempat melakukan operasi terhadap barang-barang yang dibawa peserta. Ternyata ada empat siswa itu kebetulan membawa selimut dari rumah berupa jarit parang. Jarit-jarit itu kemudian di buang di sungai. Setelah siuman, keempat siswa itu mengaku tidak mengerti perihal larangan membawa jarit parang. Bahkan, hingga saat ini masyarakat Ngluyu, menurut Bambang yang guru SD itu, saat mengadakan pesta masih harus berhati-hati terhadap kado-kado yang diterima. Karena seperti yang sudah terjadi di desanya , ketika satu dari tumpukan kado itu terdapat kado berupa jarit parang, pasti terjadi musibah. Sehingga Bambang masih meyakini, misteri jarit parang di Ngluyu ternyata belum juga lekang.
7. Hal itu dibenarkan Toto Yitno, tokoh kelompok tani yang kini menekuni bidang photography. Katanya, sekitar tahun 1980 ada seorang guru agama dari Pace. “ Kalau ini nampaknya ada unsur kesengajaan, barangkali ingin membuktikan” tandas Toto Yitno. Saat itu sang guru agama menghadiri pesta pernikahan, dan ditunjuk panitia setempat untuk membacakan do'a tanda usainya acara resepsi. Usai do'a, para tamu geger, sebab pembaca do’a tersebut meninggal di tempat. “ Ya..barangkali ini memang takdir dari Yang Kuasa” tambah Toto. Melihat beberapa peristiwa keanehan tersebut, hingga sekarang masyarakat Ngluyu masih mempercayai misteri jarit parang.
8. “Contoh lain masih ada, tetapi ya..itulah kejadiannya,“ kata Djakiran (56) Juru Kunci keempat makam mBah Gedong. Menurut Djakiran saat ini warga di timur makam hingga rumah kepala desa juga tidak berani menggelar wayang kulit. Juga menyediakan minuman keras berupa arak. Sebab, seperti kejadian-kejadian sebelumnya ketika di rumah warga ada minuman arak, selalu didatangi siluman macan putih yang dipercaya binatang kesayangannya Eyang Suromangunjojo.
9. Mantan Camat Ngluyu Drs. Harmadi yang saat ini ( 2004 ) sebagai Kasubdin Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Daerah kembali menunjukkan kegetolannya dalam menggali sejarah. Drs. Harmadi terlihat sangat antusias tentang pendapatnya seputar gaung mistis legenda Jarit Parang di Ngluyu. Seperti diyakini oleh masyarakat diwilayah Kecamatan Nguyu, hingga saat ini dipantangkan mengenakan atau membawa jarit parang. Cerita itu terkait keberadaan makam Mbah Gedhong. Kalau itu dilanggar apalagi ada unsur kesengajaan, akan datang musibah secara mendadak. Contohnya yang baru saja terjadi tanggal 25 Mei 2004 lalu. Ketika itu seperti dituturkan saksi mata, Waras Riyanto, di Dukuh Cabean Desa Sugihwaras ada seorang warga yang sedang menggelar hajatan mantu. Kata Waras Riyanto yang juga salah satu Kasi di Sub Din Kebudayaan itu menuturkan, bahwa rombongan temanten dari Pacitan tidak sengaja membawa Jarit Parang. Begitu rombongam mulai memasuki wilayah Ngluyu, tanda-tanda bakal turun hujan sudah mulai nampak. Selang kemudian, hujan turun disertai mendung dan sambaran petir. Modin setempat kemudian mengetahui ada warga yang membawa Jarit Parang. Sehingga diperintahkan untuk membawa kearah selatan atau keluar dari wilayah Ngluyu. Sekejap kemudian suasana menjadi reda, dan pagelaran hajatan bisa dilanjutkan sekalipun terlambat.
10. Lain lagi bagi masyarakat Desa Banjarejo Rejoso. Cuaca mendung gelap yang menggelantung di atas wilayah Ngluyu, hingga membuat paniknya warga Desa Sugihwaras Ngluyu, Sadji petani Desa Banjarejo justru sudah sempat disyukuri. Pasalnya, banyak petani yang saat itu sedang menunggu turunnya hujan. Sementara, dari belahan utara saat itu memang nampak mendung, dengan sesekali terdengar bunyi petir. Sayangnya, ditunggu hingga malam, hujan tidak jadi turun.
11. Harmadi menyakini, legenda pantangan jarit parang tersebut masih lekat. Bahkan sebelum masuk wilayah Ngluyu sebagai Camat, Harmadi mengaku menyempatkan diri ziarah ke Makam mBah Gedhong. Berikutnya, sekitar sepuluh bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Agustus 1998 sekitar jam : 03.00, Harmadi merasakan sebuah kegaiban muncul. Dia mengaku merasa ada yang membangunkan dari tidurnya. Katanya, saat itu dia merasa berdiri menghadap sebuah meja kecil . Dia berdiri bersebelahan dengan sosok perempuan mengenakan jarit parang barong. Didepannya berdiri dua sosok laki-laki masing-masing mengenakan udeng dan jarit parang rusak. Sedangkan sosok laki-laki satunya mengenakan udeng gadung biasa, dan jarit kawung. Sosok laki-laki yang mengenakan udeng dan jarit parang tersebut, kemudian memperkenalkan namanya adalah Gusti Hening Satrio Pamungkas. “Saat itu, beliau sambil menyodorkan tulisan yang menyebut nama Bagus Mangundjojo, dan Raden Ayu Latifah. “ Nampaknya tokoh wanita ini sepertinya adiknya Gusti Hening Satrio Pamungkas. Beliau-beliau ini diyakini keturunan Mataram “ tambah Harmadi. Perihal mimpi gaibnya tersebut, Harmadi kemudian mempublikasikan kebeberapa kerabat dekat termasuk sebagian tokoh masyarakat Ngluyu dan pers. Maksudnya, kata Harmadi, apabila ada terjadi kesalahan biar ada peringatan apapun bentuknya. Niat itu akhirnya membawa dampak. Lima hari kemudian, Harmadi bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat di bagian timur Desa Ngluyu, seperti di Desa Tempuran sekarang ini, terjadi geger, pertempuran, banyak rumah-rumah dibakar. Kemudian, penduduk yang dipimpin R.A. Latifah, lari ke wilayah Gampeng. Sebagian warga akhirnya betah tinggal disana. Sisanya kemudian menuju ke Dukuh Jeruk dan menetap pula ditempat itu. Lalu sisanya lagi, kata Harmadi, menuju Desa Cabean Sugihwaras. Karena daerahnya subur makmur, akhirnya memilih menetap di desa itu. “Karenanya, apakah karena adanya pertempuran itu, hingga desa tersebut dinamakan Desa Tempuran.” sambung Harmadi. Hanya saja masyarakat setempat hingga kini mempunyai legenda lain. Nama Tempuran, oleh ketiga tokoh yang diyakini yang babat alas, yaitu Kromorejo, Tadjoh, dan Kromotono pada abad ke-19, diambil dari pertemuan dua sungai yaitu sungai Jawa dan sungai Wates. Selain menyoal nilai magis mBah Gedong, Harmadi nampaknya saat ini sedang mengumpulkan nilai-nilai sejarah yang diperkirakan luput dari perhatian publik. Dia bahkan sedang menyusun sebuah tulisan tentang Ngliman, Bandaralim Demangan dan Jambi Baron. Menurutnya Desa Jambi sekarang ini, dulunya pada jaman Majapahit adalah tempat lokasi berdirinya Departemen Agama kala itu. Dia juga menyakini, kalau Maha Patih Gajah Mada yang berhasil menguasai nusantara dengan sumpah palapanya itu, meninggalnya di Nganjuk. Sebab, lereng Gunung Wilis termasuk hutan Bajulan, Ngetos dan Sawahan hingga Ponorogo, konon ceritanya dulu adalah pusat kerajaan besar. Karenanya ketika berhembus kabar dilokasi itu ada candi besar melebihi Candi Borobudur, seperti pernah di tulis Almarhum Kyai Haji Kharisudin Tohir, Harmadi nampaknya semakin yakin. Apalagi menitik sejarah keemasan Maha Patih Gajah Mada, menurutnya untuk menyatukan nusantara, pasti ada piandel andalan. Itu diyakini ada di Sawahan. Bahkan, dia juga menyebut diera tahun tujuh puluhan, ada seorang pejabat tinggi di Nganjuk yang mencoba mengerahkan kekuatan 23 orang supranatural untuk mengambil gaman (piandel) dimaksud, akhirnya gagal.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »