Masuk Desa Kaloran, Kecamatan Ngronggot di musim penghujan seperti
sekarang, mirip seperti melewati sirkuit offroad. Jalannya memang sudah
diaspal, namun banyak yang rusak dan bergelombang. Cekungan dan
lubang-lubang pun akhirnya digenangi air.
Beberapa titik sudah lebih tinggi dari mata kaki. Jalan pun tak
terlihat. Sehingga, para pengendara motor atau sepeda pun harus ekstra
hati-hati jika tak ingin terpeleset di genangan air.
Kondisi ini semakin diperparah dengan keberadaan gundukan tanah di
kanan-kiri jalan. Saat terkena air hujan, tanah-tanah tersebut masuk ke
jalan dan genangan hingga membuat jalan di desa yang terletak di
perbatasan Ngronggot-Tanjunganom ini berlumpur.
Gundukan tanah yang terkesan ‘mengotori’ jalan saat musim hujan itu
diletakkan di sana bukannya tanpa maksud. Dibalik gundukan tanah itu
terlihat banyak laki-laki dan perempuan yang beraktivitas.
Aktivitas warga ini pula yang membuat desa itu semakin dikenal.
Selain di sawah, warga Desa Kaloran memang punya pekerjaan alternatif
sejak berpuluh-puluh tahun lalu.Turun-temurun ke beberapa generasi.
Ya, pekerjaan itu tak lain adalah membuat kerajinan batu
bata. “Awalnya genteng. Tapi dari hari ke hari tanahnya jelek. Jadi,
pindah ke batu bata sejak tahun 1990-an lalu,” kata Jumiatun, salah satu
warga desa setempat.
Ratusan warga di empat dusun, mulai dari Dusun Kaloran, Dusun
Nanggungan, Dusun Bulakmiri dan Dusun Barengan, memang menekuni
pekerjaan sebagai pembuat batu bata. Sebagian masih mempertahankan
pembuatan genting meski jumlahnya tak lagi banyak.
Perempuan berusia 55 tahun itu pun mengaku belajar membuat batu bata
secara turun-temurun dari kakek-neneknya. Berpuluh-puluh tahun silam,
tanah di desa setempat memang dianggap yang paling baik. Sehingga,
genting atau batu bata yang dihasilkan pun kuat. “Dari mbah-mbah sudah ada,” lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, banyak tanah yang dikeruk semakin dalam.
Lapisan tanah yang paling bawah pun akhirnya diketahui kurang bagus
dipakai membuat barang yang banyak dibutuhkan untuk pembangunan rumah
itu. “Jadi kurang kuat. Makanya pindah ke batu bata yang tanahnya masih
cocok,” urainya.
Karena alasan kualitas itu, warga sekitar kini jarang yang memakai
tanah lokal. Hampir semua perajin memilih ‘mengimpor’ tanah dari
tetangganya. Termasuk dari Desa Trayang yang terletak di sebelah timur
desa.
Langkah sejumlah perajin ini diambil bukan hanya karena kualitas
tanah setempat yang tak lagi bagus. Melainkan karena lahan-lahan
pemukiman di Desa Kaloran yang makin padat.
Sehingga, mereka kesulitan mencari tanah. Padahal, pesanan yang
datang ke mereka selalu banyak. “Makanya tanahnya sampai didatangkan
dari luar,” sambung Samirah, 56, warga lainnya.
Berapa omset mereka? Rupanya cukup banyak. Setiap bulan, satu perajin
dengan dua atau tiga pekerja cetak ini bisa mendatangkan tanah bahan
batu bata sekitar tiga rit.
Tanah tersebut akan diolah menjadi sekitar 10 ribu – 15 ribu batu
bata. Dengan jumlah sebanyak itu, pekerjaan baru bisa selesai dalam satu
bulan. “Sehari paling 500 bata. Makanya, nyari tanahnya bulanan. Sebulan sekali baru cari lagi,” lanjut kakek dua cucu ini sembari memindahkan batu-bata ke tungku pembakaran.
Penghasilan para perajin ini cukup lumayan. Tiap bulan, mereka bisa
mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta.
Keuntungan itu sudah dikurangi kebutuhan produksi batu bata.
Mulai kebutuhan beli tanah lagi, beli kayu bakar, hingga kebutuhan
produksi lainnya. Khusus musim hujan seperti sekarang, biasanya perajin
menaikkan harga jual batu bata mereka. Dengan model dan bentuk yang
sama, setidaknya jika di musim biasa dihargai Rp 5 juta, saat penghujan
seperti ini harganya bisa naik jadi Rp 5,5 juta hingga Rp 6 juta.
Kenaikan harga ini bukannya tanpa alasan. Karena panas matahari tak
banyak, pengeringan batu bata usai dicetak memakan waktu dua kali lipat
lebih lama. Selama musim hujan, pengeringan batu bata bisa memakan waktu
seminggu penuh. Padahal, jika kemarau batu bata bisa kering dalam tiga
hari setelah cetak. “Ya repotnya dipengeringan, bisa sampai 6 – 7 hari kalau hujan,” terangnya.
Karena usaha yang ditekuni selama bertahun-tahun dan turun-temurun,
para perajin seolah memiliki pasar masing-masing. Sumirah pun biasa
menjual batu bata buatannya ke berbagai daerah.
Selain di lokal Nganjuk, beberapa daerah sekitar seperti Jombang,
Bojonegoro, hingga Lamongan pun banyak yang pesan di Nganjuk. “Yang
paling banyak dari Lamongan kalau sini,” tuturnya.
Uniknya, meski memiliki ciri khas sendiri-sendiri, hampir semua
produk batu bata di sana memiliki kualitas yang setara. Hal itulah yang
membuat pembeli berdatangan.
Warga pun tak mau mengecewakan pelanggan. Makanya, mereka memilih
berkorban waktu lebih lama untuk pengeringan dan pembakaran, daripada
menghasilkan produk yang jelek. “Orang-orang sudah percaya. Makanya
batanya terus dijaga bisa selalu bagus,” tandasnya. (ut)
Sumber : Radar
Sumber : Radar