RIWAYAT MAKAM MBAH GEDHONG NGLUYU

RIWAYAT MAKAM MBAH GEDHONG NGLUYU

0
A. Mataram dalam Pemerintahan Panembahan Senopati (1586 – 1601) dan Pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (1601 – 1613).
Setelah Pajang dan Demak dapat ditaklukkan, Panembahan Senopati berniat menjadi Raja Jawa. Sesudah mendapat persetujuan dari Sunan Giri, dikumpulkanlah semua Bupati yang telah takluk beserta bala tentaranya. Setelah mustaid segala-galanya, berangkatlah Baginda Panembahan Senopati akan menaklukkan Surabaya yang telah bersekutu dengan Panembahan Madiun dan Bupati Ponorogo. Laskar kedua belah pihak bertemu di Japan, tetapi untunglah pertempuran belum terjadi, karena datang dari pesuruh Sunan Giri untuk melerai kedua laskar itu. Masing-masing lalu pulang ke negerinya. Tetapi Surabaya bersikeras untuk melawan Mataram juga, karena mendapat bantuan dari Madiun dan Ponorogo. Ketika hal itu terdengar Panembahan Senopati, Madiun dan Ponorogo diserang sampai tunduk. Sesudah itu Pasuruan dan Kediri juga dapat dilumpuhkan.
Pada tahun 1587 Pajang dan Demak melawan, tetapi juga dapat ditundukkan lagi. Adipati Pajang lari ke Banten. Lain dari pada itu masih ada lagi negeri yang melawan antara lain Bupati Pati yang bernama Pragula. Panembahan Senopati menitahkan menaklukkan Bupati Pragula tersebut. Laskar Mataram dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna. Dalam sebuah pertempuran hebat Bupati Pragula gugur. Semua putri diboyong ke Mataram oleh Tumenggung Wiraguna
B. Riwayat Hidup, Perjalanan Pangeran Suromangundjoyo Selayang Pandang.
Ketika Pati ditundukkan, putra Adipati Pragula yang bernama Pangeran Suromangundjojo beserta istri, keponakan, dan pengikut setianya berhasil melarikan diri ke Giri Gresik. Oleh Sunan Giri diberi petuah-petuah berbagai ilmu dan ajaran agama, kemasyarakatan, pertanian dan sebagainya.
Pangeran Suromangundjojo di Giri membuat tempat pemandian yang sampai sekarang dikenal dengan nama Telaga Giri. Oleh Sunan Giri, Pangeran Suramangunjaya dianjurkan membuat dan mendirikan desa di hutan Ngluyu dan Cabe. Dalam perjalanan menuju ke hutan Ngluyu dan Cabe, keponakan Pangeran Suromangundjojo yang menyertai beliau, ada yang jatuh cinta dengan penari Jawa (tandak) di desa Tlebung, daerah Bojonegoro. Selanjutnya bertempat tinggal di desa tersebut.


Pangeran Suromangundjojo meneruskan perjalanan menuju ke hutan Ngluyu dan Cabe, kemudian langsung menuju (njujuk : jujugan : jawa) dekat Ngluyu. Kemudian di kenal dengan nama/sebutan Jonggan. Pada waktu itu keponakan Pangeran Suromangundjojo yang bernama Suramangunonengan merasa sangat haus. Lalu tongkat Suromangundjojo ditancapkan di tanah, maka keluarlah air, selanjutnya menjadi sumber air yang sekarang dikenal orang dengan nama Sendang Sumber Waras atau Sendang Anggara sampai sekarang.
Sementara keponakan Pangeran Suromangundjojo membabat hutan Cabe, didirikan Desa Cabean. Pangeran Suromangundjojo membabat hutan Ngluyu, didirikan Desa Ngluyu. Beliau menetap di desa Ngluyu sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di sebelah barat laut desa yang sampai sekarang kita kenal sebagai makam mBah Gedhong.
CERITA TENTANG KEJADIAN ANEH
Menurut cerita yang ditulis Supardi Samani ayah Bambang Sancoko yang juga turun kedelapan Eyang Suromangundjojo, bahwa jarit parang merupakan kesukaan atau klangenan Pangeran Suromangundjojo. Kecuali itu beliau juga mempunyai piaraan macan putih, dan tidak suka minum minuman keras. Dan beliau berpesan agar orang lain termasuk anak turunnya tidak memakai jarit parang dan tidak minum minuman keras. Hal ini persis dengan apa yang pernah diterima Drs. Harmadi melalui wisik. Ketika itu Harmadi baru saja memangku jabatannya sebagai Camat Ngluyu. Dalam mimpinya pernah didatangi oleh sosok-sosok leluhur sebagaimana yang banyak diceritakan banyak orang tersebut. Karenanya dia sendiri menyakini adanya misteri jarit parang tersebut.
Selain dilarang memakai jarit parang dan menyediakan minuman keras, kata Juru Kunci Djakiran, Eyang Suromangundjojo yang diyakini makamnya ada di makam Gedong itu juga memberikan pantangan bagi para peziarah. Para peziarah seperti dituturkan juru kunci, harus dalam keadaan suci lahir bathin. Peziarah diwajibkan memakai sarung dan tidak memakai celana dalam. Biasanya setiap malam Jum’at Pahing ada sekitar 100 hingga 200 peziarah, hingga oleh juru kunci dibuatkan tempat khusus untuk menampung peziarah. Sebab, kata Djakiran, para peziarah juga banyak dari luar jawa. Misalnya Kalimantan, Bali, Sumatera.
Bagi peziarah diwajibkan suci dari hadast besar maupun kecil layaknya hendak sembahyang, hal itu dibenarkan Camat Ngluyu Gunarto. Bahkan, dia sendiri mengakui, bahwa pihaknya bersama Muspika pada saat menjelang Pemilu Legislatif tahun 2004 sempat sowan, ziarah ke makam mBah Gedong. Tujuannya agar Ngluyu aman. Ketika itu Kapolsek lupa belum melepas celana dalamnya. Akibatnya Pak Kapolsek merasakan ada yang menghempaskan hingga terhengkang.
Cerita lainnya yang dialami masyarakat Ngluyu dan sekitarnya adalah sebagai berikut :
1. Masih segar dalam ingatan, kejadian aneh bulan April 2004 yang lalu, yaitu sebuah peristiwa yang sempat menggegerkan SLTP Negeri 1 Ngluyu. Pada saat sekolah sedang melakukan kegiatan perpisahan, tiba-tiba suasana dipecahkan oleh turunnya hujan dengan disertai sambaran petir. Karuan saja panitia dibuat kalang kabut. Sebab, tidak disangka kalau siang itu bakal turun hujan. Apalagi bukan musim penghujan. Sebagian kalangan terutama masyarakat desa setempat, meyakini ada sesuatu yang tidak beres, terkait dengan hal-hal di luar nalar, alias berbau mistik. Sebagian besar memperkirakan, di sekitar arena tersebut pasti ada seseorang yang mengenakan jarit parang. Panitia terpaksa melakukan operasi. Ternyata seluruh panitia hingga siswa tidak ada yang membawa atau mengenakan jarit parang. Pencarianpun terus dilakukan hingga di luar SLTP Negeri 1. Ternyata seorang warga mengetahui ada seorang pedagang kain keliling sedang menawarkan dagangannya pada warga sekitar. Setelah warga mengoperasi seluruh kain dagangannya, ternyata ada dagangan berupa jarit parang. Spontan, warga meminta untuk segera membuang, atau segera meninggalkan lokasi keluar dari wilayah Desa Ngluyu. Beruntung si pedagang memakluminya, dan segera bergegas meninggalkan desa itu. Hasilnya, hujan yang disertai petirpun reda.
2. Peristiwa aneh lainnya, seperti dituturkan Satimo Kades Ngluyu , yaitu ketika lima tahun lalu, di lapangan desanya, Ludruk Kopasgad menggelar pentas. Saat itu, panggung, pagar porak poranda diterjang badai. Hingga mengalami kerugian besar. Penyebabnya, diyakini salah seorang penarinya mengenakan jarit parang. Padahal pimpinan Ludruk sudah berpesan untuk tidak mengenakan jarit parang. Tetapi si penari asal Kediri itu tidak percaya. Dampaknya panggung beserta isinya diterjang badai, dan sambaran petir.
3. Waras Riyanto warga Desa Tempuran juga menceriterakan seputar misteri jarit parang di Desa Ngluyu. Bulan Agustus tahun 2002, Carik Desa Gampeng menggelar hajatan dengan suguhan hiburan wayang kulit. Kebetulan waranggono membawa jarit parang di dalam kopernya. Akibatnya dari pagi hingga siang turun hujan dan petir. Si waranggono tersebut tidak sadarkan diri, dan si dalang namanya Asli Budiman beserta rekan-rekannya terserang diare terus menerus. Melalui seorang penabuh gamelan diketahui bahwa di koper waranggono terdapat jarit parang . Karenanya, oleh salah seorang warga jarit tersebut dibawa keluar Desa Ngluyu dan dibuang di Kali Watu Gandul. Barulah suasana normal kembali.
4. Kejadian serupa juga dialami mBah Mukmin asal Desa Puncu saat menggelar pentas wayang kulit dengan ki dalang Djoko Widodo dari Ngawi.
5. Masih menurut Waras Riyanto, pada Bulan September tahun 2002 ada hiburan tayuban di rumah Lasidi. Ceriteranya ada seorang warga yang tidak mempercayai larangan membawa jarit parang. Seorang warga tersebut sengaja membawa dari rumah dibawa ke pentas yang kebetulan pentasnya digelar siang hari. Sekitar jam 14.00 tiba-tiba turun hujan disertai sambaran petir, hingga terop roboh. Warga yang membawa jarit tersebut kemudian mengantar waranggono ke Ngrajek. Sepulangnya sampai di depan rumah Pak Lasidi orang tersebut terkena musibah kecelakaan hingga tewas seketika.
6. Ada juga ceritera lain ketika dilaksanakan Bhakti Karya Pramuka sekitar tahun 1990. Ketika itu berlokasi di Desa Tempuran. Bambang Sancoko selaku panitia sempat dibuat panik. Pasalnya, ada empat anak buahnya yang tiba-tiba kesurupan. Ketika itu panitia bersama warga setempat melakukan operasi terhadap barang-barang yang dibawa peserta. Ternyata ada empat siswa itu kebetulan membawa selimut dari rumah berupa jarit parang. Jarit-jarit itu kemudian di buang di sungai. Setelah siuman, keempat siswa itu mengaku tidak mengerti perihal larangan membawa jarit parang. Bahkan, hingga saat ini masyarakat Ngluyu, menurut Bambang yang guru SD itu, saat mengadakan pesta masih harus berhati-hati terhadap kado-kado yang diterima. Karena seperti yang sudah terjadi di desanya , ketika satu dari tumpukan kado itu terdapat kado berupa jarit parang, pasti terjadi musibah. Sehingga Bambang masih meyakini, misteri jarit parang di Ngluyu ternyata belum juga lekang.
7. Hal itu dibenarkan Toto Yitno, tokoh kelompok tani yang kini menekuni bidang photography. Katanya, sekitar tahun 1980 ada seorang guru agama dari Pace. “ Kalau ini nampaknya ada unsur kesengajaan, barangkali ingin membuktikan” tandas Toto Yitno. Saat itu sang guru agama menghadiri pesta pernikahan, dan ditunjuk panitia setempat untuk membacakan do'a tanda usainya acara resepsi. Usai do'a, para tamu geger, sebab pembaca do’a tersebut meninggal di tempat. “ Ya..barangkali ini memang takdir dari Yang Kuasa” tambah Toto. Melihat beberapa peristiwa keanehan tersebut, hingga sekarang masyarakat Ngluyu masih mempercayai misteri jarit parang.
8. “Contoh lain masih ada, tetapi ya..itulah kejadiannya,“ kata Djakiran (56) Juru Kunci keempat makam mBah Gedong. Menurut Djakiran saat ini warga di timur makam hingga rumah kepala desa juga tidak berani menggelar wayang kulit. Juga menyediakan minuman keras berupa arak. Sebab, seperti kejadian-kejadian sebelumnya ketika di rumah warga ada minuman arak, selalu didatangi siluman macan putih yang dipercaya binatang kesayangannya Eyang Suromangunjojo.
9. Mantan Camat Ngluyu Drs. Harmadi yang saat ini ( 2004 ) sebagai Kasubdin Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Daerah kembali menunjukkan kegetolannya dalam menggali sejarah. Drs. Harmadi terlihat sangat antusias tentang pendapatnya seputar gaung mistis legenda Jarit Parang di Ngluyu. Seperti diyakini oleh masyarakat diwilayah Kecamatan Nguyu, hingga saat ini dipantangkan mengenakan atau membawa jarit parang. Cerita itu terkait keberadaan makam Mbah Gedhong. Kalau itu dilanggar apalagi ada unsur kesengajaan, akan datang musibah secara mendadak. Contohnya yang baru saja terjadi tanggal 25 Mei 2004 lalu. Ketika itu seperti dituturkan saksi mata, Waras Riyanto, di Dukuh Cabean Desa Sugihwaras ada seorang warga yang sedang menggelar hajatan mantu. Kata Waras Riyanto yang juga salah satu Kasi di Sub Din Kebudayaan itu menuturkan, bahwa rombongan temanten dari Pacitan tidak sengaja membawa Jarit Parang. Begitu rombongam mulai memasuki wilayah Ngluyu, tanda-tanda bakal turun hujan sudah mulai nampak. Selang kemudian, hujan turun disertai mendung dan sambaran petir. Modin setempat kemudian mengetahui ada warga yang membawa Jarit Parang. Sehingga diperintahkan untuk membawa kearah selatan atau keluar dari wilayah Ngluyu. Sekejap kemudian suasana menjadi reda, dan pagelaran hajatan bisa dilanjutkan sekalipun terlambat.
10. Lain lagi bagi masyarakat Desa Banjarejo Rejoso. Cuaca mendung gelap yang menggelantung di atas wilayah Ngluyu, hingga membuat paniknya warga Desa Sugihwaras Ngluyu, Sadji petani Desa Banjarejo justru sudah sempat disyukuri. Pasalnya, banyak petani yang saat itu sedang menunggu turunnya hujan. Sementara, dari belahan utara saat itu memang nampak mendung, dengan sesekali terdengar bunyi petir. Sayangnya, ditunggu hingga malam, hujan tidak jadi turun.
11. Harmadi menyakini, legenda pantangan jarit parang tersebut masih lekat. Bahkan sebelum masuk wilayah Ngluyu sebagai Camat, Harmadi mengaku menyempatkan diri ziarah ke Makam mBah Gedhong. Berikutnya, sekitar sepuluh bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Agustus 1998 sekitar jam : 03.00, Harmadi merasakan sebuah kegaiban muncul. Dia mengaku merasa ada yang membangunkan dari tidurnya. Katanya, saat itu dia merasa berdiri menghadap sebuah meja kecil . Dia berdiri bersebelahan dengan sosok perempuan mengenakan jarit parang barong. Didepannya berdiri dua sosok laki-laki masing-masing mengenakan udeng dan jarit parang rusak. Sedangkan sosok laki-laki satunya mengenakan udeng gadung biasa, dan jarit kawung. Sosok laki-laki yang mengenakan udeng dan jarit parang tersebut, kemudian memperkenalkan namanya adalah Gusti Hening Satrio Pamungkas. “Saat itu, beliau sambil menyodorkan tulisan yang menyebut nama Bagus Mangundjojo, dan Raden Ayu Latifah. “ Nampaknya tokoh wanita ini sepertinya adiknya Gusti Hening Satrio Pamungkas. Beliau-beliau ini diyakini keturunan Mataram “ tambah Harmadi. Perihal mimpi gaibnya tersebut, Harmadi kemudian mempublikasikan kebeberapa kerabat dekat termasuk sebagian tokoh masyarakat Ngluyu dan pers. Maksudnya, kata Harmadi, apabila ada terjadi kesalahan biar ada peringatan apapun bentuknya. Niat itu akhirnya membawa dampak. Lima hari kemudian, Harmadi bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat di bagian timur Desa Ngluyu, seperti di Desa Tempuran sekarang ini, terjadi geger, pertempuran, banyak rumah-rumah dibakar. Kemudian, penduduk yang dipimpin R.A. Latifah, lari ke wilayah Gampeng. Sebagian warga akhirnya betah tinggal disana. Sisanya kemudian menuju ke Dukuh Jeruk dan menetap pula ditempat itu. Lalu sisanya lagi, kata Harmadi, menuju Desa Cabean Sugihwaras. Karena daerahnya subur makmur, akhirnya memilih menetap di desa itu. “Karenanya, apakah karena adanya pertempuran itu, hingga desa tersebut dinamakan Desa Tempuran.” sambung Harmadi. Hanya saja masyarakat setempat hingga kini mempunyai legenda lain. Nama Tempuran, oleh ketiga tokoh yang diyakini yang babat alas, yaitu Kromorejo, Tadjoh, dan Kromotono pada abad ke-19, diambil dari pertemuan dua sungai yaitu sungai Jawa dan sungai Wates. Selain menyoal nilai magis mBah Gedong, Harmadi nampaknya saat ini sedang mengumpulkan nilai-nilai sejarah yang diperkirakan luput dari perhatian publik. Dia bahkan sedang menyusun sebuah tulisan tentang Ngliman, Bandaralim Demangan dan Jambi Baron. Menurutnya Desa Jambi sekarang ini, dulunya pada jaman Majapahit adalah tempat lokasi berdirinya Departemen Agama kala itu. Dia juga menyakini, kalau Maha Patih Gajah Mada yang berhasil menguasai nusantara dengan sumpah palapanya itu, meninggalnya di Nganjuk. Sebab, lereng Gunung Wilis termasuk hutan Bajulan, Ngetos dan Sawahan hingga Ponorogo, konon ceritanya dulu adalah pusat kerajaan besar. Karenanya ketika berhembus kabar dilokasi itu ada candi besar melebihi Candi Borobudur, seperti pernah di tulis Almarhum Kyai Haji Kharisudin Tohir, Harmadi nampaknya semakin yakin. Apalagi menitik sejarah keemasan Maha Patih Gajah Mada, menurutnya untuk menyatukan nusantara, pasti ada piandel andalan. Itu diyakini ada di Sawahan. Bahkan, dia juga menyebut diera tahun tujuh puluhan, ada seorang pejabat tinggi di Nganjuk yang mencoba mengerahkan kekuatan 23 orang supranatural untuk mengambil gaman (piandel) dimaksud, akhirnya gagal.

Mbah Ngaliman

0

Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarhnya ?.
Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada di daerah Ngliman antara lain Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman)...............

Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo), Imam Syafi’i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo), Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman antara lain Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos), KH. Qolyubi (Keringan), KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto). KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah ini.
Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka digunakan sebutan :
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50 Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.
Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi. Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah RONGGOWARSITO ----- NUR FATAH ----- NUR IBRAHIM ----- SYEH YASIN SURAKARTA ----- NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ----- MUSYIAH ----- I L Y A S ----- KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya ada beberapa pusaka.
Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan digedong pusoko antara lain :
a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
e. Kyai Kembar
f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
g. Kamar 1 buah
h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
i. Terbang
j. Almari tempat pusaka 2 buah
k. Tempat Plandean Tumbak
Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap mengelilingi Desa Ngliman.
Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain : Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto, Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.
Sedangkan yang mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa dikunjungi dengan jalan setapak. Adapun air yang paling besar adalah Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik. Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali 9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100 hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden Patah.
Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung. Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan. Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke Kudus.
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
Kirab Pusoko
Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad, SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang kayu. Kecuali Kyai Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. “ Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang mengenakan klinting” tambah mBah Ngalimin.
Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi wisata budaya yang layak jual.

Wayang timplong Nyampe Jakarta


Jakarta, Sinar Harapan
Setelah satu dasawarsa vakum menyelenggarakan kegiatan, Bina Musika kembali hadir dengan menggelar sebuah kolaborasi unik antara permainan piano empat tangan diiringi dengan permainan wayang kulit Jawa klasik. Kolaborasi unik ini rencananya akan dilangsungkan empat kali, mulai tanggal 19, 20, 21 dan 25 Februari 2003, masing-masing di BPK Penabur, Erasmus Huis, Pusat Kesenian Wilayah Jakarta Timur serta Opening Jak@rt Center di Gedung S. Widjojo Center, Jakarta. Kecuali Erasmus Huis, tiga pagelaran lainnya tidak dipungut bayaran.
Konser piano empat tangan ini akan menghadirkan dua pianis asal Indonesia dan Jepang, yaitu Ary Sutedja dan Miwako Fukushi. Sementara dalang yang terpilih untuk pagelaran ini adalah Nanang HaPe, seorang dalang muda lulusan STSI Surakarta. Mereka akan unjuk kebolehan membawakan The Sleeping Beauty karya Tchaikowsky.

Ide awal kolaborasi piano dan wayang ini tercetus dari Miwako, yang mengaku tertarik untuk mengetahui wayang kulit lebih dalam lagi. Selama di Jepang, Miwako yang pernah menimba ilmu di Franz Liszt Academy of Music di Hongaria ini, dikenal sebagai pianis yang kerap menggelar konser piano khusus untuk balita maupun ibu-ibu dengan bantuan siluet ataupun boneka.
”Sejak dulu saya selalu memikirkan ingin menggabungkan dua hal agar menjadi sesuatu yang indah. Setelah menyaksikan pertunjukan wayang kulit, baru timbul ide untuk mengadakan konser ini,” sahut Miwako Fukushi di sela-sela jumpa pers Chamber Music Series Bina Musika bertajuk ”Four Hands Piano Concert berkolaborasi dengan wayang kulit” di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Ide Miwako ini kemudian diteruskan kepada sahabat dekatnya, Ary Sutedja yang kebetulan pernah dibesarkan oleh Bina Musika dan melanjutkan sekolahnya di Towson State University di Baltimore, Amerika dan St. Petersburg Conservatory di Rusia. ”Saya senang sekali. Ini adalah genre musik kamar yang unik yang membutuhkan tantangan sekaligus memperlihatkan kreativitas yang tidak ada batasnya, mempertemukan seni barat dengan timur,” kata Ary yang mengaku harus latihan berkali-kali dan bergantian memainkan partitur dari sebelah kiri dan kanan demi mencapai hasil yang terbaik. Untuk memainkan satu piano dengan empat tangan, memang membutuhkan keterampilan dan emosi tersendiri, agar suara yang dihasilkan tak ubahnya seperti dimainkan oleh satu orang saja.
Untuk pagelaran ini, Ary dan Miwako tidak akan memainkan partitur asli The Sleeping Beauty yang dibuat untuk satu orkestrasi lengkap, melainkan akan memainkan versi reduksinya yang sudah digubah oleh pianis Sergei Rachmaninoff, yang sudah mentranskripsi partitur The Sleeping Beauty untuk empat tangan.
Repertoar lainnya yang akan dibawakan secara utuh adalah karya-karya dari Gabriel Forrey, Schubert serta Anton Volzac. The Sleeping Beauty yang aslinya dibuat khusus untuk repertoar ballet klasik, sengaja dipilih berkolaborasi dengan wayang kulit dengan pertimbangan cerita ini sudah banyak dikenal orang, sekaligus memperkenalkan musik klasik khususnya pada anak-anak Indonesia.
Sang dalang, Nanang HaPe, menyambut baik kolaborasi ini. Dalang kelahiran Ponorogo, Jawa Timur yang sudah banyak mengikuti misi kesenian wayang kulit serta pernah melakukan penelitian terhadap kesenian wayang Timplong di Kabupaten Nganjuk ini, menyatakan pakem yang berlaku dalam pagelaran wayang bukanlah hambatan untuk melakukan kreativitas.
”Wayang bisa dijadikan simbol apa pun, termasuk visualisasi dari karya Tchaikowsky. Saya kira tidak ada batasan apa pun, tapi tentu saja untuk pagelaran nanti saya tidak mungkin memakai dialog, jadi hanya main dengan bayangan saja,” sahut Nanang yang akan mengadaptasi karakter-karakter yang ada dalam Sleeping Beauty dengan karakter-karakter yang adalah dalam tokoh pewayangan. Sleeping Beauty misalnya, bisa diwakili melalui Shinta atau Sembrodo ataupun Komaratih. Sementara sosok pangeran yang mencium Sleeping Beauty bisa diwakili melalui Rama ataupun Arjuna.
(din)

Di Pedesaan Nganjuk,Wayang Timplong Masih Bernapas

0
MESKI sudah enam turunan (generasi) wayang timplong, keberadaannya tetap terjaga dengan baik, karena dari generasi tua-melalui garis keturunan-secara tidak langsung melimpahkan estafet untuk menguri-uri (menjaga-Red) kesenian tradisi itu kepada generasi berikutnya.

Realitas itu tercermin pada keluarga Ki Talam (64), salah seorang dalang wayang timplong asal Dukuh Bungkal, Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. "Sekarang ini di Nganjuk terdapat tidak kurang empat dalang wayang timplong, dan yang tertua, ya saya," kata Ki Talam, Selasa (16/4), di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), Surabaya.

Empat dalang wayang timplong itu adalah Ki Suwoto, Ki Djikan, Ki Maelan, dan Ki Talam sendiri. Ki Talam berulang kali berujar, agar wayang warisan leluhur itu jangan sampai punah.

Kesenian tradisi wayang ini yang hidup dan berkembang di tengah-tengah komunitas penduduk pedesaan di daerah Nganjuk itu, telah dihadirkan oleh lembaga seni budaya pemerintah, seperti TBJ, terkesan unik. Bentuk wayang terbuat dari bahan kayu waru, sementara tangannya terbuat dari kulit.

Jika selama ini sebagian besar warga masyarakat lebih mengenali kesenian wayang, tentu saja wayang kulit. Apalagi, era sekarang ini wayang kulit dengan kemasan baru terasa lebih segar, karena memasukkan unsur-unsur lawakan dan juga pesinden lagu-lagu campursari.

Justru sebaliknya, dengan wayang timplong tidak melibatkan pesinden (waranggana). Begitu pula halnya penabuh gamelannya tidak sebanyak dan selengkap yang dijumpai pada seni tradisi wayang kulit gaya Yogyakarta maupun Surakarta. "Dari dulu sampai sekarang ini, ya seperti itu, tidak ada sinden dan panjak-nya (penabuh gamelan-Red) pun cuma lima orang," tutur Ki Talam.

***

WAYANG Nganjuk yang masih diugemi (dilestarikan) oleh keluarga Ki Talam ini akan tetap berjalan pada koridor pakem wayang itu sendiri. Artinya, sebagai generasi pewaris, bapak lima orang anak itu tidak berniat mengubah eksistensi wayang timplong. "Ojo sampek ilang, wayang timplong itu ujudnya yang seperti itu," ujarnya.

Menurut kakek enam cucu itu, wayang anutannya yang berkembang dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat di daerahnya ini, semula dikembangkan oleh Mbah Karto Guno, asal Grobogan, Jawa Tengah. Lalu, turun-temurun dan diteruskan oleh Mbah Tawar, Mbah Juwul, dan Mbah Budho. "Generasi dalang wayang timplong yang termuda, ya Sujadi, anak saya sendiri," ujar dia.

Untuk memainkannya, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak yang mengiringi ilustrasi musik gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong, gambang, dan gong kecil. Gending-gending yang menyertai cerita lakon juga tidak terlampau njlimet, karena wayang ini hanya
mengenal gending
prahab (keluarnya wayang), grendel (jejeran), ngrangsang (peperangan), sendonan (sulukan), dan andek-andek (Onto Kencono).

Spesifikasi dari cerita berkisar pada cerita-cerita rakyat, teristimewa cerita Kediren atau asal usul daerah Kediri. "Cerita-cerita lakon Babat Kediri, Asmoro Bangun, dan Panji Laras Miring itu sudah pakem wayang timplong. Dan selama saya mendalang, cerita lakonnya, ya terserah dalang...," ujarnya.

Ki Dalang Talam ketika menggelar pertunjukan wayang timplong dalam sepekan wayang di Pendopo, TBJ mengusung cerita lakon Bedhahe Tanjunganom (Rabine Kundhowarso) yang mengisahkan tentang perkawinan antara sang putri Redi Warso asal Tanjunganom dengan seorang lelaki, Kudhowarso, asal Lamongan.

Wayang yang dipertontonkan di kota arek ini menjadi sebuah sajian pertunjukan yang amat langka. Tampilan wayang yang dimainkan oleh Ki Dalang Talam itu patut mendapat perhatian, terlebih kajian-kajian sosiologis-antropologis dari para pakar seni tradisi di daerah ini, karena karakter wayang itu sendiri mengenal tokoh jahat maupun tokoh baik. Prabu Djoko Klono Sewandoro adalah tokoh jahat, sementara Panji Asmoro adalah tokoh baik.

"Sejak awal saya mendalang, tahun 1957, sampai sekarang, wayang timplong tidak pernah terseret oleh kepentingan politik, dan memang tidak ikut politik," tegas Ki Talam.

Wayang ini masih sering ditanggap untuk ruwatan desa/bersih desa, untuk mengusir balak ataupun bencana. "Bulan Suroan biasanya banyak tanggapan, kadang tiga, empat, sampai enam kali," ujarnya. Lalu berapa tarifnya? "Berkisar Rp 750.000 hingga
Rp 1 juta," ujarnya.

***

KHAZANAH seni tradisi wayang timplong telah membuka apresiasi terhadap aneka ragam seni wayang itu sendiri. Ini berarti, bagaimanapun wayang asal Nganjuk yang dimainkan oleh Ki Dalang Talam yang kesehariannya sebagai buruh tani, sudah menyapa sebagian publik kesenian di kota berpenduduk 3,2 juta jiwa ini.

Malahan, menurut Suwoto, panjak yang juga dalang wayang timplong, pada tahun 1991 wayang pimpinan Mbah Tawar sempat tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. "Tahun 1999 lalu sebagai dalang wayang timplong saya pentas di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Surakarta," ujar Suwoto, anggota keluarga Ki dalang Talam.

Ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk itu bisa jadi sebuah kekuatan untuk pencerahan-pencerahan hidup. Jika selama ini cerita lakon berputar-putar dari cerita-cerita masa lampau, tidak tertutup kemungkinan akan lahir sosok dalang yang mengusung cerita-cerita lakon kekinian.

"Bakal jauh lebih menarik kalau mengangkat cerita si Tommy...," ujar salah seorang seniman.

Wayang timplong masih bernapas, walaupun eksistensinya terbatas pada komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas. Ruwatan dan bersih desa yang masih subur di tengah-tengah masyarakat itu menjadi ruang hidup seni wayang timplong. (ABDUL LATHIF)


Wayang Krucil Nganjuk Asing Di Daerah, Dikenal Di Jerman

0

SENI tradisi Wayang Krucil di Nganjuk mempunyai nilai-

nilai budaya yang tinggi. Kesenian ini tak hanya mengangkat cerita-cerita sejarah, tetapi juga memuat aspek moral dan etika. Sekaligus berperan sebagai media hiburan rakyat.

Di Nganjuk, Wayang Krucil pernah menjadi tontonan yang populer, bersaing dengan wayang purwa. Namun, saat jenis hiburan lain yang lebih modern menjamur, Wayang Krucil semakin tergusur.

Sekarang pementasan-pementasan Wayang Krucil semakin sulit dijumpai. Kecuali, dalam acara-acara ritual yang berkait dengan bersih desa dan nadar. Padahal, kesenian ini masih banyak dijumpai hingga masa 1960-an.

Pada puncak kejayaannya, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah (desa dan kecamatan) di Nganjuk, bahkan sampai di kawasan Kabupaten Kediri.

Namun, saat ini tinggal tersisa beberapa saja. Salah satunya, Wayang Krucil milik Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu Kecamatan Baron, sekitar 15 kilometer sebelah timur Kota Nganjuk.

Boleh jadi, Wayang Krucil yang ada di desa itu menjadi satu-satunya di Nganjuk atau Jawa Timur. Sedangkan di desa lainnya sudah punah dan tak memiliki pewaris lagi.

Wayang Krucil satu-satunya yang tertinggal di Nganjuk itu dikenal sebagai Wayang Krucil Garu, karena tinggal dan berkembang di Desa Garu.

Pelaku seni tradisi atau dalang Wayang Krucil Garu ini tinggal seorang, yaitu Ki Sudiono, yang merupakan dalang Wayang Krucil turun-temurun.

Ayahnya, Joyo Untung, adalah seorang dalang Wayang Krucil di Nganjuk yang populer dengan sebutan dalang Purwocarito. Sedang kakeknya, Sastrorejo, populer dengan sebutan dalang Kondo Suwarno.

Selain sebagai seorang dalang, Ki Sudiono juga seorang perajin Wayang Krucil. Sebagian menjadi koleksi pribadi dan sebagian menjadi pesanan turis-turis Eropa.

Di desa ini, Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan desa sehingga berlangsung turun-temurun, dianggap sakral, sehingga harus selalu dipentaskan dalam upacara bersih desa setahun sekali. Kesakralan dan malati Wayang Krucil Garu terwujud dalam bentuk pagelaran yang harus disertai sesajen khusus.

Wayang Krucil dibuat dari kayu Mentaos berbentuk pipih. Mula-mula, kayu dipotong dan dibuat papan agak tebal. Setelah itu, papan kayu diberi gambar, diukir dan diberi cat sesuai tokoh wayang yang akan dibuat. "Kayu Mentaos memiliki serat halus, kalau dibuat wayang hasilnya bagus. Namun, kayu ini sekarang susah didapat," ujar Ki Sudiono.

Meskipun bentuknya pipih, Wayang Krucil berbeda dengan Wayang Kulit. Pada Wayang Krucil, memiliki ketebalan 2 -3 Centimeter, sedang Wayang Kulit sekitar 3 milimeter. Boleh dikatakan, bentuk Wayang Krucil mengarah tiga demensi. Karena itu, karakter tokoh-tokoh pada Wayang Krucil terkesan lebih bernyawa dibanding Wayang Kulit.
"Saya sendiri heran, setelah jadi wayang kok jadi hidup. Sama-sama tokoh Bratasena, pada Wayang Krucil terlihat kokoh dan bernyawa," imbuh Ki Sudiono.

Perbedaan lainnya, Wayang Kulit (purwa), satu wayang mewakili satu tokoh atau satu karakter dan memiliki satu nama. Sedang, pada Wayang Krucil Sri Guwak ini satu wayang bisa berganti-ganti memerankan beberapa tokoh dan karakter.

Tokoh Baladewa dapat digunakan ketika sang dalang mengambil sumber cerita Mahabarata. Tetapi, ketika mengangkat cerita Menak, tokoh ini digunakan sebagai figur Prabu Rusmantono, Raja Sindukaas. Sedang Bima (Bratasena) menjadi tokoh Raja Lamdaur Alam dari Kerajaan Srandil.

Wayang Krucil Garu Nganjuk juga berbeda dengan Wayang Golek atau Wayang Tengul. Wayang Golek berbentuk boneka, sedang Wayang Krucil pipih. Untuk mementaskan kesenian itu, diringi perangkat gamelan Mardi Laras dengan 20-an pemusik (penabuh) dan 5 pesinden (penyanyi).

Cerita Wayang Garu Nganjuk mengambil beberapa sumber, diantaranya, cerita yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri. Seperti, kisah Panji Semirang Asmara Bangun, Candra Kirana, Panji Asmaratanka, Candra Kirana Mbarang Jantur.

Juga, mengambil sumber cerita rakyat tentang pemberontakan kepada Belanda. Seperti, kisah perlawanan Untung Surapati, Diponegoro, Trunojoyo. Atau, cerita-cerita seputar Walisongo dan pendirian Kerajaan Islam Demak.

Ada juga cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia. Cerita ini berkaitan dengan prkembangan agama Islam, seperti pada cerita Umarmaya, Umarmadi, Amir Hamzah. Namun, nama-nama tokohnya sudah diadaptasi.
Bahkan, dalang juga bisa mengambil sumber cerita dari Mahabarata. Selain itu, dalang juga membuat cerita sendiri atau dikenal sebagai lakon carangan.

Kondisi Wayang Krucil Garu Nganjuk kini dalam keadaan yang menyedihkan. Tak banyak yang peduli, kecuali segelintir seniman. Bahkan, pemerintah daerah setempat pun tak banyak berbuat. Inilah yang menjadi kekhawatiran Ki Sudiono.

Ki Sudiono mengaku, setiap tahun rata-rata hanya bisa tampil 4 kali. Biasanya, untuk memeriahkan kegiatan bersih desa. Di Desa Garu sendiri, acara seperti ini rutin dilakukan setiap tahun sekali.

Meskipun demikian, Ki Sudiono bertekad untuk tetap melestarikan kesenian ini. Selama ini, dirinya lebih banyak meluangkan waktunya untuk membuat wayang. Yang membanggakan bagi Ki Sudiono, adalah Wayang Krucil Nganjuk sudah dikenal sampai di Jerman.

Dalam waktu satu minggu, Ki Sudiono bisa menyelesaikan satu wayang. Ia hanya membuat apabila ada pesanan. Untuk pasar lokal, satu wayang dijual sekitar Rp700 ribu. Sedang pemesan luar negeri, diatas satu juta rupiah.palopo abdurahman

Jatuh Bangun Seni Tayub

Jatuh Bangun Seni Tayub

0
SEBUAH pertanyaan, boleh jadi masih terus mengganjal dan menggema dalam pikiran Sugio Pranoto, sesepuh kesenian tradisional tayub di Kabupaten Nganjuk.

Sampai kapan produk kesenian tradisional, seperti tayub, akan selalu terpinggirkan. Minimnya minat generasi penerus ditambah menyusutnya tingkat apresiasi masyarakat, bahkan untuk sekadar menonton pertunjukan seni tradisional, menjadi semacam momok di kalangan penggiat kesenian tradisional di Tanah Air ini.

"Anak muda sekarang lebih senang bentuk kesenian yang praktis macam dangdut, karaoke, atau campursari. Belajar tari tayub tidak gampang, perlu proses serta waktu lama," keluhnya.

Padahal, di Nganjuk, seni tayub dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian khas. Kebanyakan masyarakat Jawa Timur mengenal Nganjuk sebagai gudang penari tayub (waranggana), tersebar di hampir 20 kecamatan.

Berbagai upaya penyelamatan sering kali dilakukan. Pada Desember tahun 1985, pemerintah kabupaten bersama penggiat kesenian mendirikan perkumpulan (himpunan pramugari, waranggana, dan pengrawit) Langen Bekso dengan tujuan lebih menertibkan organisasi serta koordinasi kegiatan seni itu.

Selain pembinaan teknis dan keorganisasian, para penggiat seni, terutama waranggana, juga diberi semacam piagam dan nomor induk sebelum dibolehkan pentas.

"Malah, setahun sekali Pemkab Nganjuk juga menggelar ritual wisuda waranggana (gembyangan waranggana), setiap Jumat Pahing bertepatan dengan bulan besar penanggalan Jawa," tambah Sugio.

Upaya-upaya itu menurutnya, selain untuk meningkatkan profesionalitas kesenian tayub, juga mengangkat martabat serta citra penari tayub. Selama ini diakuinya, waranggana sering diidentikkan sebagai wanita tidak bermoral.

Tidak hanya itu, menurut ketua kelompok waranggana, Musrini (35), di Padepokan Langen Tayub Anjuk Landang, 10 kilometer arah timur Kota Nganjuk, kelompok tayub sering mencari terobosan baru dalam berpentas.

"Selain alat musik gending, kami juga mencoba memasukkan unsur alat musik lain seperti organ saat berpentas. Malahan kami juga mencoba memenuhi permintaan penonton jika mereka minta dalam pementasan kami membawakan lagu-lagu yang sedang populer seperti campursari atau Asereje," ujar Musrini.

Akan tetapi, inovasi seperti itu tetap tidak berpengaruh banyak pada tingkat apresiasi dan minat masyarakat menikmati kesenian tayub. Bahkan, dari hari ke hari minat generasi muda mempelajari kesenian itu semakin punah.

Musrini menambahkan, saat ini dari sekitar 50 waranggana, hanya 18 orang yang aktif berpentas. Selain itu, kebanyakan tidak lagi bisa dibilang muda lantaran berusia 25-40 tahun dan kebanyakan sudah berkeluarga.

"Seringnya, kalau sudah berkeluarga mereka berhenti. Sementara mencari murid baru sulitnya bukan main. Pernah dinas pariwisata dan padepokan membuka pendaftaran gratis, tapi tidak ada yang mendaftar," ujar Musrini.

Bahkan lucunya, tambah Musrini, wisuda waranggana, yang digelar setiap tahun justru diikuti oleh waranggana senior, yang sebelumnya pernah diwisuda.

"Habis mau bagaimana lagi. Sekarang mencari murid susah. Tambah lagi tenaga pengajar tidak ada. Seharusnya waranggana tidak dibolehkan mengajar calon waranggana. Seperti sekarang, saya terpaksa mengajar mulai dari keterampilan menari sampai berhias sebelum pentas. Saya hanya mengajarkan apa yang dulu pernah saya terima," ujar Musrini.

Keadaan seperti itu berbeda 180 derajat dengan kondisi sekitar lima dasawarsa sebelumnya. Menurut Sugio, kesenian tayub mengalami masa jaya pada tahun 40-an hingga 60-an.

Saat itu waranggana di Kabupaten Nganjuk sekitar 400 orang, tersebar di hampir setiap kecamatan. Itu belum termasuk pengrawit atau pemain gamelan.

Pada sejarahnya, tambah Sugio, kesenian tayub mulai marak dan berkembang sekitar tahun 1948 dengan kehadiran dua orang kakak beradik, Sastrosandyo dan Sungkono, asal Desa Senjayan, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, sebagai pelatih andal tarian tayub.

"Keduanya lulusan sekolah tari di Solo, Jawa Tengah, kemudian mendirikan organisasi Budi Mulya, yang mengajarkan kesenian tayub di daerah ini. Saat itu, bisa dibilang setiap desa pasti punya kelompok tayub," papar Sugio.

Namun, berdasarkan cerita turun-temurun di kalangan masyarakat Nganjuk, seni tayub muncul pertama kali tahun 1934 di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom.

Menurut Sugio, waktu itu dua anak Mahkawit (11) dan Jaminem (10), warga dusun itu tiba-tiba sakit aneh. Dalam sakit keduanya minta orang tua mereka menggelar pertunjukan tayub karena ingin menari. Padahal, sebelumnya anak itu belum pernah belajar tarian tayub.
Setelah masyarakat desa sepakat menentukan tanggal dan bulan baik, pementasan digelar. Saat itu Jumat Pahing, acara digelar bertepatan dengan acara bersih desa. Anehnya kedua anak menari dengan fasih dan menyelesaikan 10 gending wajib, yang biasa dibawakan untuk mengiringi penari tayub.Setelah masyarakat desa sepakat menentukan tanggal dan bulan baik, pementasan digelar. Saat itu Jumat Pahing, acara digelar bertepatan dengan acara bersih desa. Anehnya kedua anak menari dengan fasih dan menyelesaikan 10 gending wajib, yang biasa dibawakan untuk mengiringi penari tayub."Sayangnya kesenian ini terhambat saat pemberontakan PKI meletus. Saat itu, banyak penari maupun pengrawit ketakutan dituduh terlibat partai terlarang itu. Banyak pula dari mereka ditangkap dan dikenai cap eks tahanan politik atau narapidana politik. Padahal, banyak dari mereka tidak tahu masalah politik," ujar Sugio.

Sejak itu popularitas tayub asal Nganjuk mulai pudar. Walau kemudian digiatkan pada era pemerintahan Orde Baru, tidak lagi mampu meraih kembali masa kejayaannya.

Jika dulu mereka berhadapan dengan persoalan politik, kini kesenian tayub harus bergulat dengan maraknya budaya populer, yang semakin diperkuat melalui televisi.

Fendik Sudandar, Loper Koran Jadi Pengusaha

Fendik Sudandar, Loper Koran Jadi Pengusaha

0
Berwirausaha memasarkan koran pun bisa memanfaatkan kredit PUNDI. Selain mengembangkan usahanya, Fendik Suganjar bahkan mampu memberdayakan remaja-remaja putus sekolah sebagai tenaga kerja pengantar koran atau loper. Melalui kredit PUNDI via Bank Jatim cabang Nganjuk, Fendik memperoleh tambahan dukungan modal Rp 5 juta pada tahun 1998, Rp 10 juta tahun 1999, dan Rp 15 juta di tahun 2003 lalu.

Turut berperan langsung menyosialisasikan berbagai informasi yang terangkum melalui media massa kepada masyarakat, menjadi kebanggaan tak ternilai bagi Fendik alias Hasyim. Meski bukan sebagai seorang reporter atau wartawan, tapi andil di sektor pemasaran sebagai agen. Agen merupakan bagian terpenting dan memiliki nilai strategis bagi rekanan bisnis usaha media massa. Type your summary here

Type rest of the post hereTingkat kesuksesan meraih posisi sebagai agen dalam dunia pemasaran media massa merupakan satu prestasi bagi mantan seorang tenaga loper koran. Berbekal kegigihan dan kesungguhannya menjalani profesi sebagai pengantar koran ternyata kian menguatkan kemampuannya mewujudkan mimpi barunya menjadi seorang pengusaha meski masih berkategori pengusaha kecil.

Memang menarik bila menyimak kisah sukses seorang nasabah kredit PUNDI Bank Jatim cabang Nganjuk. Setelah sederetan pengalaman dienyamnya, baik sebagai pembersih kandang sapi, mengurus ayam, mencari rumput, buruh bangunan, buruh pabrik, penjaga toko hingga akhirnya terjun menjadi loper koran di kampung halamannya, Nganjuk, Jawa Timur.

“Karena pendidikan saya sangat rendah menyebabkan harus rela berjuang keras melakoni perjalanan hidup. Syukur semua penglaman memberi masukan positif, khususnya untuk memacu motivasi saya meraih kondisi hidup dan kehidupan yang lebih baik,” papar Fendik Suganjar (37), akrab dipanggil Hasyim ini.

Meski berasal dari keluarga kurang mampu, ayahnya seorang buruh penebang pohon kelapa dan ibunya penjual buah melinjo, tidak meyurutkan niat Hasyim untuk bisa hidup lebih mapan yang bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Melalui profesi sebagai pengusaha penyewaan buku-buku bacaan keliling dan loper koran yang mengharuskannya bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan, sehingga membawa ia bisa ′akrab′ dengan kalangan Bank Jatim cabang Nganjuk sebagai salah satu pelanggan dagangan korannya.

“Berawal dari situlah akhirnya saya akrab dengan pegawai Bank Jatim hingga akhirnya mendapat informasi tentang kredit PUNDI tersebut, dan syukurlah akhirnya bisa menjadi salah satu nasabahnya,” aku bapak tiga orang anak, suami dari Suparti.

Mantan pemilik usaha taman bacaan ′Karya Anda′ di Probolinggo, Jatim pada tahun 1989 silam yang kini mengelola kios di pasar Sukomoro, Nganjuk, memperoleh pinjaman kredit PUNDI pertama pada tahun 1998 sebanyak Rp 5 juta, dengan sertifikat tanah sebagai agunannya.

Berkat keuletannya memanfaatkan pinjamannya itu, pengusaha kecil yang kini masih kerapkali turun mengantar koran ke rumah-rumah langganan dengan sepeda motornya, mampu meningkatkan sekaligus membesarkan usahanya. Maka berlatar bekalang fakta tersebut pihak Bank Jatim pun mengabulkan pinjaman tahap kedua dan ketiganya bagi Hasyim.

Pada tahap kedua pada tahun 1999 setelah menjalani cicilannya dengan baik dan lancar, pengusaha kecil yang mempekerjakan 4 orang (3 orang siswa SMK/STM dan 1 orang SMP) dengan gaji Rp 70 ribu per bulan, mendapat kucuran kredit PUNDI Rp 10 juta. Pinjaman sebesar itu selain digunakan untuk mengembangkan usahanya juga sebagian dinvestasikan untuk membeli sawah.

Hasyim yang pernah melakoni pula sebagai guru tari dan senam, serta guru ngaji di Taman Pendidikan Al Qur′an (TPA), pada tahun 2003 lalu kembali memperoleh kredit PUNDI sebesar Rp 15 juta setelah ajuannya dikabulkan pihak Bank Jatim cabang Nganjuk. “Saya bersyukur tetap memperoleh kepercayaan dari Bank Jatim Nganjuk, sehingga usaha pun lancar,” kilahnya.

Tak salah bila Bank Jatim yang memiliki kemitraan dengan Yayasan Damandiri khususnya mengenai program Kredit PUNDI, terus memberi kepercayaan kepada Hasyim. Selain omset usaha Hasyim sebagai agen koran yang mencapai Rp 1 juta per hari dengan keuntungan bersih 10 persen, ia juga patuh dan lancar dalam membayar cicilannya.

Dan berkat bantuan kredit PUNDI pula selain Hasyim mampu menyekolahkan adik dan saudara-saudaranya hingga lulus SMA, ia pun kini sudah memiliki rumah permanen, tanah dan sawah di tiga lokasi, kios, dan 2 unit sepeda motor. Sungguh mengagumkan cara warga Jl Wilis IIIA Nomor 4, Dukuh Jarakan Kelurahan Kramat, Nganjuk, dalam membangun kesejahteraan keluarga dan menolong anak orang lain sebagai karyawannya demi menuntaskan sekolahnya masing-masing. Sehingga pantas bila kisah Hasyim pun tampil terpilih menjadi salah satu episode dari sinetron seri Bukan Hanya Mimpi II yang ditayangkan di TPI. Patut ditiru! (gemari) (bps)

Sumber : Waspadaonline.co.id